Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirthan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, misalnya Candi Jago.
Salah satu candi peninggalan Majapahit adalah Candi Pari. Candi Pari terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Saat ini Porong terkenal dengan kota lumpurnya, namun siapa sangka Porong menyimpan sebuah cagar budaya yang tak semua orang tahu. Candi itu sendiri berada ditepi jalan utama desa, sehingga akses menuju lokasi bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan roda empat. Candi Pari adalah sebuah candi yang terletak sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Pengaruh Champa (salah satu wilayah di Vietnam) nampak cukup kental mempengaruhi bentuk candi ini.
Kerajaan Champa dengan ibukota Wijaya (Caban) di dekat kota Binhdinh, terletak di pantai timur Vietnam, adalah kerajaan lama, yang telah dikenal sejak permulaan abad Masehi. Champa mengadakan hubungan persahabatan dengan Jawa sejak zaman pemerintahan Raja Kertanegara, yang memerintah Singasari dari tahun 1270 sampai 1292. Konon, puteri Tapasi dari Singasari menikah dengan Raja Jaya Singawarman III dari Champa.
Berkat perkawinan itu, Raja Jaya Singawarman melarang tentara Tartar, yang berlayar ke Jawa pada akhir tahun 1292, untuk menghukum Raja Kertanegara, mendarat di pantai Champa.
Pada tahun 1314, Champa diperintah oleh Tran-Minh-tong, juga dikenal sebagai Che Nang dalam sejarah Vietnam. Setelah gagal usahanya untuk merebut kembali daerah bagian utara dari kekuasaan bangsa Vietnam, ia diusir dari negaranya. Konon, Che Nang mengungsi ke Jawa pada tahun 1318. Pada waktu itu Jayanagara yang memerintah Majapahit.
NJ Krom (Belanda) dalam bukunya "Inleiding tot de Hindoe", menyebutkan hubungan antara Indonesaia dan Champa sudah terjalin sejak jaman prasejarah, hal ini berdasarkan temuan nekara-nekara perunggu gaya Dong-Son di Jawa. Pada masa klasik hubungan dagang ini semakin meningkat lagi. Sumber prasasti dari periode Jawa Timur abad 15 masehi, terdapat dalam Hikayat Hasanudin (Jan Edel 1983) dan kitab sejarah Melayu (Situmorang dan Tecuw 1952). Peristiwa tersebut terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci, yaitu pengungsian orang-orang Campa ke Jawa karena stabilitas di negeri Campa tidak aman. Dalam hubungannya dengan Candi Pari, pengungsian orang-orang Campa ke Jawa tahun 1318 Masehi oleh penguasa Majapahit kedatangannya diterima dengan baik, sebagai konsekuensinya disediakan tempat untuk Raja Campa dan pengikutnya dan akhirnya asimilasi tersebut tampak pada bangunan di Candi Pari, yakni bangunan suci berkarakter Jawa yang dipengaruhi kesenian Campa.
Menurut Negarakretagama, pada tahun 1365, Kerajaan Champa mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit. Pada waktu itu, Champa diperintah oleh Che Bong Nga, orang besar di Champa berkat kejayaannya dalam peperangannya melawan Dai Viet (Yawana) dari tahun 1361 sampai 1390. Masa pemerintahannya bertepatan dengan masa pemerintahan Dyah Hayam Wuruk di Majapahit, yakni dari tahun 1351 sampai 1389. Baik jalannya sejarah maupun masa keruntuhannya, Kerajaan Champa hampir mirip dengan Kerajaan Majapahit. Che Bong Nga digantikan oleh Ngaut Klaung Wijaya yang memerintah Champa dari tahun 1400 sampai 1441 dan mengambil nama abhiseka Indrawarman pada tahun 1422. Ia Berjaya menyelamatkan negaranya dari ancaman Dai Viet, namun sepeninggalnya timbullah perang saudara. Dalam masa tiga puluh tahun semenjak matinya Indrawarman, Champa diperintah oleh lima orang raja dari perbagai dinasti, ganti berganti melalui peperangan, yang melemahkan kedudukan Negara, sehingga ketika pada tahun 1471 diserang oleh bangsa Vietnam, kerajaan Champa runtuh dan sejak saat itu diduduki oleh bangsa Vietnam, dan tidak pernah bangun lagi.
Candi Pari berdiri diatas bidang tanah ukuran 13,55 x 13,40 meter, tingginya 13,80 meter, belum termasuk bagian puncaknya yang sudah rusak. Candi Pari tidak memiliki bentuk seperti umumnya candi-candi Jawa Timur lainnya. Bentuknya yang agak “tambun” dan tampak kokoh seperti candi-candi di Jawa Tengah. Candi Pari didirikan pada tahun 1293 saka (1371 masehi), sesuai dengan apa yang dipahatkan pada sebuah batu diatas pintu masuk candi. Dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Majapahit dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Adapun ciri-ciri Champa pada bangunan Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi di bidang kebudayaan di masa tersebut.
Candi Pari berbentuk menyerupai lumbung padi. dengan bentuk seperti itu dan dengan adanya ventilasi atau lubang sirkulasi udara tentu akan melahirkan beberapa pendapat mengenai tujuan didirikannya candi ini. Salah satunya adalah: Dimasa keemasan Kerajaan Majapahit, dengan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajahmada, kerajaan besar ini sudah memiliki teknologi cukup maju untuk saat itu, salah satunya adalah irigasi atau pengairan. Hal ini masih berbekas berupa irigasi sistem subak di Bali, yang merupakan masyarakat peninggalan Majapahit. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali. Disisi lain, lokasi Candi Pari yang sangat dekat dengan Kali Porong (kondisi biologis berupa tanah endapan subur didaerah Delta), hampir dapat dipastikan bahwa Candi Pari merupakan daerah penyangga pangan terbesar pada masa kerajaan Majapahit. Mengingat daerah endapan sungai (Delta) dimanapun dikenal sebagai kawasan paling subur dan makmur, hal itu mungkin saja menjadi alasan dibangunnya Candi Pari.
Bangunan Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit.
Bagian kaki candi memiliki ukuran 13,55 x 13,40 meter dan tinggi 1,50 meter, pada bagian ini terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti ini tidak ditemui dalam candi-candi lain di Jawa Timur. Perbingkaian yang digunakan pada bagian kaki candi adalah bentuk bingkai rata tanpa hiasan.
Sebelum masuk ke dalam bilik candi terdapat sebuah tangga yang sedikit curam sehingga kita harus berhati-hati jika hendak menaiki tangga untuk masuk ke dalam bilik candi. Pada bagian pinggul candi ini menggunakan perbingkaian yang berbentuk bingkai leher (Jangga) yang juga tanpa hiasan. Pintu masuk candi sendiri berbentuk penampil, yaitu pengembangan dari bagian sisi-sisi candi tersebut.
Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur (diantara lubang angin) terdapat sebuah penampil sebagai sandaran dinding arca. Dahulu di daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Buddha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Dengan adanya arca Siwa Mahadewa dan Buddha dalam satu candi tentu akan mengundang pertanyaan mengenai corak agama candi ini. Dapat dikatakan Candi Pari bercorak agama Siwa-Buddha. Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda. Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta (Siddantatapaksa), kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajaran Siwasiddhanta adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit.Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Sedangkan di bagian tubuh candi menggunakan perbingkaian berbentuk bingkai rata pada bagian bawah, bangian tengah berbentuk dinding rata, dan di bagian atasnya menggunakan bingkai penyangga, sehingga bentuk keseluruhannya seperti bingkai leher (Jangga).
Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas. Ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi berbentuk penampil berupa miniatur candi dengan atapnya berbentuk prasada, yaitu bentuk atap bertingkat-tingkat dengan puncaknya berbentuk kubus. Miniatur candi itu sendiri memiliki lima tingkat. Di sisi miniatur candi tersebut terdapat masing-masing sebuah lubang ventilasi. Di bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai.
Bagian atap candi diperkirakan berbentuk prasada, yaitu bentuk atap yang bertingkat-tingkat, berangsur mengecil dengan kubus di puncaknya. Hal ini di dasarkan pada ornamen yang ada pada dinding sisi utara, timur dan selatan candi yang berbentuk penampil berupa miniatur candi.
Meski memiliki nilai budaya, candi ini kurang mendapatkan perhatian dari Pemkab Sidoarjo. Ini mengakibatkan tidak banyak orang yang tahu tentang candi ini bahkan sebagian orang yang tahu pun enggan untuk datang. Kurangnya promosi serta dana dari pemerintah menyebabkan Candi Pari jauh dari wisatawan. Badan candi ditumbuhi lumut yang menandakan candi ini tak terurus.
Candi Pari yang kita lihat saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. Pemugaran dilakukan karena banyak batu bata yang terlepas dari badan candi sehingga harus diganti dengan batu bata yang baru dan yang lama ditanam di sekitar candi. Meskipun terlupakan oleh pemerintah daerah setempat, tetapi Candi Pari masih tetap diingat oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Dibuktikan dengan upaya mereka menggandeng sekolah untuk datang mengunjungi Candi Pari.
Daftar Pustaka
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS.
http://www.wisatanet.com/templete/index.php?wil=4&id=000000000000336. (14 Desember 2008)
Santiko,.Hariani “Agama Pada Masa Majapahit”. http://www.majapahit-kingdom.com (14 Desember 2008)
“Pemalsuan Sejarah Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit”. http://jatimguide.multiply.com. (20 Desember 2008)
“Candi di Kota Lumpur”. 28 Mei 2008. http://www.surya.co.id. (20 Desember 2008)
http://id.wikipedia.org. (20 Desember 2008)
salam...